DIalog dengan Diri
Setengah
perjalananku terhenti. Dada terasa tersentak, sontak gemuruh semakin
merangkak cepat.
Aku
termenung pada padatnya manusia yang banyak menggantungkan harapan di
kota ini.
Semua
merebut definisi bahagianya sendiri.
Pelan.
Lancang. Proses. Hasil. Doa. Sujud. Syukur. Segalanya menyesakkan
langit Jakarta.
"sedang
melamunkan apa?"
"bukan
apa-apa.."
"sekarang
ini kita berada pada dimensi waktu, seolah hidup adalah untuk
mengejar waktu--atau bahkan mengambil waktu"
"mengapa
demikian?"
"memang
seperti itu bukan? apa yang kamu cari?"
"entah.
banyak hal yang harus kulengkapi untuk hidupku"
"Dan
itu persoalan waktu bukan?"
"Ya,
mungkin iya.."
"Lagi-lagi
memang persoalan waktu, bukan?"
"Tapi
setiap orang pasti memiliki waktunya masing-masing"
Matahari
tenggelam diantara gedung-gedung pengadu nasib
Malam
memasuki dunia. Aku berjalan pelan sembari mengehentak
kaki--menghela nafas panjang
Sepertinya
aku harus segera tidur
Lekas
menciptakan kembali mimpi yang termakan oleh usia
Sesampainya
di kamar, aku mulai menata kerinduan yang harus segera ku musnahkan,
sungguh
aktivitas yang sia-sia bukan?
Berdamai
dengan masa lalu sudah cukup menjadi kegemaranku.
Waktu
terus bergulir--mengantarkan kita pada bulir-bulir yang berbeda
bertemu
butir demi butir hal yang mungkin dulu pernah tersimpan dalam harapan
"terima
kasih untuk hari ini, untuk sejauh ini"
Lampu
kamar mulai ku matikan-- tapi mimpi baru mulai kunyalakan
"tetap
kuat! masih banyak yang harus kita perjuangkan lagi.."
Jakarta,
5 Mei 2019
Komentar
Posting Komentar